اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نُورِ الأَنْوَارِ. وَسِرِّ الأَسِرَارِ. وَتِرْيَاقِ الأَغْيَارِ. وَمِفْتَاحِ بَابِ الْنَسَارِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُخْتَارِ. وَآلِهِ الأَطْهَارِ. وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ. عَدَد نِعَمِ الله وَأِفْضَالِهِ.

Senin, 23 Januari 2012

Perjuangan Rasulullah Muhammad saw,tauladan untuk memperbaiki Bangsa


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بعثـه بالهدى ودين الحق بشيرا ونذيرا، وداعيا إلى الله وسراجا منيرا، اللهم صلِّ على عبدك ورسولك وخليلك محمد بن عبدالله الهاشمي القرشي، وعلى ءالِهِ أهْلِ الوَفَا وَأَصْحَابِهِ أولي الصَّفَا، ماتعاقب الليل والنهار ولاحت الأنوار، وغرّدت الأطيار، وأورقت الأشجار، وأَيْنَعَتْ الثمار، واختلفت الأمصار، وتتابعت الأعصار وسلِّمْ تسليما كثيرا ﴿ يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ا مَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ﴾ ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا ﴾ أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Segala puji hanya milik Allah, Dzat Yang Maha Agung, Maha Tinggi, dan Maha Mulia. Kepada-Nya segenap makhluk bergantung dan hanya kepada-Nya segala sesuatu akan kembali. Dialah al-Khaliq al-Mudabbir, Dzat yang telah menciptakan dan mengatur alam semesta ini dengan seluruh aturan-Nya yang utuh dan sempurna. Dialah yang menurunkan Al-Qur’an di bulan suci Ramadhan sebagai petunjuk hidup dan pemisah antara haq dan bathil bagi umat sejagad. Dia pula yang menurunkan Islam sebagai agama yang benar dan haq di sisiNya, agar dijadikan sebagai jalan kehidupan ’manhajul hayat’.
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,Kepribadian atau karakter bangsa merupakan hasil interaksi  totalitas kita dengan berbagai peragkat dasar kemanusiaan yang  kita milikinya; pengetahuan, sistem keimanan, ideologi, pengalaman sejarah serta penilaian mereka terhadap sejumlah pengalaman tersebut Karakter bukanlah sekedar konstruksi nalar bersama. Karakter merupakan titik akumulasi di mana nalar, kesadaran moral (konsep haq dan bathil, khair dan syarr) dan kesucian jiwa kita bertaut, memancarkan cahaya kehidupan dan menghadirkan pencerahan jiwa yang konstruktif bagi alam semesta, rahmatan lil’alamin. Dari sini kita menyadari pentingnya bercermin pada sejarah, terlebih sirah nabawiyah (sejarah kenabian). Rekonstruksi dan reaktualisasi pemaknaan sejarah kenabian menjadi cermin penting dalam menata ulang bangunan karakter dan kepribadian bangsa kita yang semakin hari semakin rapuh dan pudar.
Firman Allah s.w.t :
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang telah diperintahkan kepadamu wahai Muhammad dan berpalinglah dari orang-orang musyrik!”.(QS Al-Hijr/15:94), mengakhiri masa dakwah sirriyah (secara rahasia) sekaligus sebagai deklarasi dakwah terbuka pada tataran publik (jahriyah) untuk meninggalkan penyembahan berhala dan menumpas segala kebathilan ideologi yang telah jauh mendominasi akal masyarakat jahiliayah  kala itu.
Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Rasululllah s.a.w. naik, berdiri gagah di atas bukit Shafa. Dengan suara lantang beliau berseru “…sesungguhnya aku utusan Allh s.w.t. kepada kalian (bangsa Arab) secara khusus dan kepada semua manusia secara universal. Sungguh aku tak dapat memberi kalian kebaikan di dunia dan jaminan keselamatan di akherat kelak kecuali, kalian menyatakan La ilaha illallah .” Abu Lahab menyambutnya dengan arogan, “celaka kau wahai Muhammad! Apakah hanya untuk mengatakan itu kau kumpulkan kami di tempat ini?!. Melalui Jibril ‘alaihissalam Allah SWT menegaskan kebenaran risalahNya : Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya pasti  binasa” (QS Al-Masad/111:1)
Narasi sejarah ini menjelaskan tentang pandangan hidup Islam ”Islamic worldview” (al-tashawwur al-Islâmy). Yaitu, persepsi kita sebagai seorang muslim dan bangsa muslim  yang khas tentang yang “wujud”,berpangkal pada konsep tauhid (syahadat) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan kita di dunia yang berorientasi pada Allah s.w.t semata. Sebab syahadat yang kita ikrarkan merupakan pernyataan moral dan keimanan di hadapan Allah s.w.t. yang mendorong kita untuk melaksanakan segala konsekuensinya dalam kehidupan ini secara menyeluruh dan integral. Inilah keyakinan asasi yang terpatri kokoh dalam hati yang dengannya kita memberi makna bagi kehidupan dan alam semesta.
Pandangan ini menjadi titik tolak peradaban universal yang kontra paganisme dan rasialisme etnik, tidak tersekat oleh kekerdilan suku, ras, bangsa, budaya ataupun batas-batas geografis, sebagaimana universalitas Islam yang difirmankan oleh Allah SWT :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tidalah Kami mengutusmu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta!”( QS Al-Anbiya:107).
الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيد
Alif lâm râ. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu Muhammad supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”(Ibrahim/14:1).
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Ketika dakwah Rasulullah s.a.w. tak lagi terbendung dengan berbagai strategi perlawanan dan rekayasa opini publik bangsa Arab masa itu, ditawarkan beberapa pilihan yang menggiurkan kepada Rasulullah .s.a.w.; harta, tahta dan wanita. Bahkan sampai pada opsi kompromi teologis dengan secara bergantian menyembah tuhan masing-masing. Semuanya ditolak!. Beliau dengan tegar menyatakan konsisten menjalankan ajarannya di jalur ‘kultural’ dengan menata ulang visi ketuhanan bangsa Arab, visi kemanusiaan, visi tentang hidup dan visi tentang alam tercipta yang telah terkontaminasi sedemikian jauh oleh virus-virus paganisme dan rasialisme etnik bangsa Arab lalu mengisinya dengan tauhid sebagaimana grand design dakwah para Nabi sebelumnya. Inilah sebuah proses al-takhliyah qabla al-tahliyah; pengosongan diri dari segala hal yang kontradiktif dengan nilai-nilai luhur Islam sebelum berfesona dengannya.
Di sini kita belajar untuk menjadi bangsa yang kritis (critical nation). Kita dituntut secara massif untuk mengkonservasi nilai-nilai fundamental keimanan, ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an kita di tengah serbuan pasar ideologi kontemporer yang destruktif atas kemanusiaan sejagad. Dalam konteks ini, barangkali, kita perlu melakukan perlawanan bersama atas berbagai varian neo kolonialisme dan imperialisme global  yang menggerogoti organ vital kepribadian bangsa kita; izzah sebagai bangsa muslim! Inilah inti ajaran tauhid, melawan tirani (thagut) dan reorientasi penghambaan (‘ubudiyah) hanya kepada Allah s.w.t. (tauhid). Visi kehidupan tauhidik ini berlawanan secara diametral dengan paganisme kekinian yang mengeksploitasi kemanusiaan kita.
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Inilah inti ajaran tauhid; melawan tirani (thâgût) dan reorientasi penghambaan (‘ubudiyah) hanya kepada Allah s.w.t. (uluhiyah); mengevakuasi dan memerdekakan manusia dari penyembahan sesama makhluk menuju penyembahan Yang Maha Pencipta. Visi kehidupan tauhidik ini berlawanan  dengan paganisme kekinian yang mengeksploitasi kemanusiaan kita. Visi tauhidik ini seharusnya kita artikulasikan dalam wujud nyata berbagai dimensi kehidupan; dalam konteks kehidupan politik, bangsa muslim yang kembali kepada Rabb-nya ialah bangsa muslim yang memerangi kebiadaban perilaku politik korup yang mengabaikan tatanan etika dan akhlâq karîmah serta berorientasi sesaat dan kelompok sempit; dalam konteks sosial-budaya kita harus mengkritisi maraknya kehidupan hedonis dan sekuler. Kehidupan yang sarat dengan budaya Barat yang serba profan dan permisif yang dikampanyekan tiada lelah dan henti oleh tidak sedikit pegiat media masa di tanah air ini. Fakta kehidupan destruktif telah menggerogoti kearifan hidup dan budaya lokal kita yang religius. Wajar jika seorang penyair terkenal menyebutnya sebagai “zaman kalatida”, sebuah fase kehidupan di mana akal sehat tak berdaya apa-apa; dalam konteks pemikiran keagamaan, bangsa muslim yang eling ialah bangsa muslim yang menolak berbagai varian terorisme teologis (al-irhâb al-‘aqady) dalam wujud akrobat dan tebar retorika intelektual manipulatif  yang sejatinya ialah, tak lain dari sekedar sayap organik  kekuatan kapitalisme global yang tak henti berupaya menetralisir dan mereduksi keIslaman dan keimanan kita. Memerangi berbagai kemungkaran ilmu yang memutar-balik kebenaran dan kebathilan (talbîs al-haqq bi al-bâthil); melakukan propaganda liberalisasi dan relativisasi nilai dan moral dalam bentuk legalisasi perkawinan sesama jenis, propaganda menyamakan semua agama dan sistem keyakinan pada dimensi esoterik maupun eksoteriknya, menodai dan menistakan agama atas nama kebebasan berpendapat dan berkeyakinan.
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Karakter bangsa muslim dengan visi dan semangat tauhid yang demikian menjadikan kita sebagai bangsa yang universal dan  kosmopolitan. Dalam struktur kepribadian bangsa kita, manusia tidak lagi dipandang berdasarkan paradigma etnik-kultural. Tidak pula dipilah berdasarkan sosio-geografisnya. Satu-satunya parameter yang kompatibel dengan semangat tauhid ialah ketaqwaan yang aktual dalam tataran kehidupan  pribadi, sosial serta berimplikasi positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat/49:13).
Wajah bangsa muslim yang kosmopolitan dan universal ditegakkan atas prinsip-prinsip moral yang menjadi konsensus bersama bagi segenap komunitas yang berada di teritorial Islam. Dalam hal ini, sekali lagi, dalam konteks kemanusiaan, Rasulullah s.a.w. tidak membeda-bedakan muslim-non muslim, kaya-miskin, terpandang ataupun tidak.  Semua menjunjung tinggi common flatform yang telah disepakati. Lihatlah klausal-klausal yang tertera pada Piagam Madinah (mîtsâq al-Madînah), yang menurut para pakar sejarah dan tata negara merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Keadilan dijunjung tinggi. Hidup egaliter menjadi nuansa keseharian. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pernik-pernik peradaban kosmopolitan dan universal ini hanya dapat dicapai oleh Islam, mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya di dunia. Rasulullah s.a.w. menegaskan kehancuran umat terdahulu karena mempermainkan keadilan. Keadilan meletakkan manusia sejajar, tanpa memandang status dan jabatan. Sabda beliau,
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ
وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Sesungguhnya  yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian ialah perilaku mereka yang hanya menjatuhkan hukuman terhadap pencuri (koruptor) dari kalangan bangsa lemah dan tidak memberikan sangsi apa-apa terhadap pencuri (koruptor) dari kalangan elit. Demi Allah,  jika Fathimah anaknya Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya.”(HR Bukhari & Muslim).

الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Pada tataran relasi antar-manusia dengan ragam keyakinan yang bebeda, Al-Qur’an Al-Karim mengajarkan kita untuk menjauhi sikap picik, kerdil dan tertutup sebagaimana doktrin rasialisme kaum zionis “the people of God” (sya’bullâh al-mukhtâr). Rasulullah bersabda “Ketauilah barang siapa yang menzhalimi non Muslim yang telah melakukan perjanjian atau meremehkannya, membebaninya di luar batas kemampuan, mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku menjadi musuhnya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi). Bahkan dalam tataran keyakinan sekalipun, Islam tak pernah menerapkan ‘paksaan’ dan intimidasi teologis sebagaimana fakta sejarah abad Pertengahan. Islam mengajarkan toleransi yang luhur atas dasar tanggungjawab di hadapan Allah s.w.t. Islam samasekali tidak membenarkan model ritual dan keyakinan mereka, namun mereka dapat menunaikannya secara aman. Tidak ada teror atas simbol keagamaan dan ritual tersebut. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tak kan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah/2:256). Juga FirmanNya,”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am/6:108).”  Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,  aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.  Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,  dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.  Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”(Al-Kafirun/109:1-6)
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Prinsip-prinsip keadilan dan apresiasi yang tinggi terhadap fakta keragaman (pluralitas)  bangsa telah menjadikan bangsa profetik Madinah tampil melampaui zamannya; sebuah potret kehidupan masyarakat dan bangsa dengan daya rekat (kohesivitas) yang sangat kokoh antar kelompok dan individu warganya, terlebih lagi antar sesama kaum beriman sebagaimana dicontohkan dalam catatan mu’âkhât (persaudaraan) kaum Muhajirin dan Anshar. Kohesivitas individu dan sosial generasi awal (salaf) di masa Rasulullah s.a.w yang sangat kokoh merupakan pantulan frekuensi  dan basis spiritual yang sama di antara mereka. Modal spiritual (quwwah rûhiyah) ini pula yang dicatat oleh sejarah dalam membangun awal peradaban Islam yang agung. Peradaban dengan visi Uluhiyah yang sangat kental. Pembangunan dua masjid; Quba’ dan Nabawi menjadi saksi sejarah kokohnya basis spiritual tersebut. “…sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS Al-Taubah/9:108) karena itulah mereka dipuji Allah s.w.t., “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS Al-Taubah/9:100)
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Karakter mulia sebuah bangsa yang dicontohkan  pada fakta sejarah kenabian tersebut, mustahil terwujud kecuali  dasar ilmu yang benar, sebagaimana ikrar syahadat kita yang mesti berbasis pada ilmu “ketahuilah dengan sebenarnya bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah s.w.t.”. Dengan demikian, bangsa muslim adalah bangsa apresiatif terhadap ilmu pengetahuan. Dengan penalaran lain dapat dijelaskan bahwa, ajaran Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah s.a.w. telah mengevakuasi manusia dari keterpurukan “fase mitologi” menuju fase bermartabat yang berbasis ilmu dan pengetahuan. Dari perspektif ini kita memahami dengan baik bahwa arpresiasi dan pujian sebagai “Ulul Albab” (Q.S. Ali/3 : 190-191) dapat diraih tatkala segala potensi akal dan spiritual yang kita miliki didedikasikan untuk memahami ayat-ayat atau tanda keagungan Allah s.w.t., bukan untuk dimitoskan, apalagi disembah. Wahyu pertama “Iqra” memberikan landasan kokoh terhadap dinamika ilmu pengetahuan dalam sejarah panjang peradaban Islam kemudian. Cermati pula kisah ahlu shuffah yang setia menimba ilmu setiap saat kepada Rasulullah s.a.w. Di sini kita memahami bangsa muslim ialah bangsa dengan etos ilmu yang tinggi. Semoga Ramadhan 1429 H ini semakin memperkokoh karakter kita sebagai bangsa muslim terbesar yang memiliki izzah, kemuliaan diri yang penuh dengan ridha dan maghfirah Allah s.w.t. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar